Bercerita tentang ruang pendidikan di tengah seramnya pandemi. Banyak perasaan takut ketika harus melepaskan mereka untuk belajar di rumah dalam pengawasan maya. Terlebih, saya mengajar anak-anak yang masih dalam usia bermain, ini pasti akan sangat sulit sekali.
Belum lagi, kejadian yang tiba-tiba ini, kami harus meraba teknik, program, aplikasi, dan kebiasaan yang berubah metode jadi bermain dengan IT yang mau tidak mau harus dikuasai. Seiring berjalannya waktu, kami mulai membiasakan hidup berbasis frekuensi, dan berkomunikasi berbasis koneksi, dan saat itu jaringan jadi kebutuhan yang fungsinya sama dengan nasi, sangatlah penting.
Mungkin ada yang merasakan hal serupa dengan saya. Sampai mata ini Lelah rasanya menatap layar yang berganati dari layar kecil ke layar besar. Pertemuan-pertemuan yang diatur dalam kelompok-kelompok diberbagai sosial media.
Alhamdulillah teknologi tetap masih bisa membuat saya banyak belajar beribadah dengan kesungguhan hidup sebagai makhluk “individu” saat itu. Tak menyurutkan pula, tujuan untuk membentuk karakter anak-anak yang cinta Allah. Semua bisa masih bisa dimanfaatkan pada waktu itu dengan maksimal, ya semoga hasilnya sesuai harapan.
Saya banyak aktivitas ketika masa pandemi, terutama bekerja yang kala itu trend dengan kata WFH (Work From House). Bahkan jika dapat digambarkan grafiknya, mungkin ke-aktifannya malah jadi naik, walau grafik penggunaan gedget dan pulsa paket juga ikut-ikutaan naik. Tapi tidak masalah, ini adalah konsekuansi dan perofesional kerja.
Tapi anehnya, saya kurang menikmati peran saya sebagai pendidik saat masa pandemi. Walau mengajarnya tetap dilakukan, yang saat ini trend dg kata daring, saya seperti bukan seorang guru, tapi malah sperti youtuber yang harus memikirkan konten, atau mungkin influenser yang harus menarik untuk tetap dinanti tontonannya, atau seperti manusia maya, yang sibuk dengan sosial media, ya bisa dibilang begitu. Yang berinteraksi degan orang yang tampak wujudnya. Saya mengajar tanpa melihat ekspresi anak-anak saya saat itu, entah dia mengerti atau tidak, entah dia mengantuk, entah dia bosan, atau dia ingin bertanya, ini sangat tidak enak.
Suasana mengajarnya sangat tidak saya rasakan, rindu untuk bertemu, tapi terhalang oleh kondisi. Mereka yang tidak bisa saya jumpai dari pintu ke pintu, tapi selalu ada ruang yang disediakan untuk merindu, dan situasi saat itu mengajarkan kita beratnya rasa rindu.
Sedih sekali ketika saya menonton tayangan dan keluhan para bunda tentang lelahnya menghadapi anak2 yang sekolah berbasis IT ini. Bahkan tidak sedikit yang sampai geramnya mengelurkan kata-kata yang memojokkan para pendidik yang mereka anggap bekerja hanya bisa suruh-suruh aja, tapi orang tua dirumah yang jadi korban. Subahanallah, jujur saja, saya paham sekali rasanya jadi orang tua dirumah. Yang harus tetap bekerja, belum lagi harus mandapingi anak belajar dirumah, apalagi kalau anaknya ada di setiap jenjang, sabar ya bunda, sama-sama berdo’a agar kita segera beradaptasi dengan situasi ini dan segera pulih dunia dari virus ini.
Pendidikan zaman sekarang memiliki tingkat tanggung jawab yang sangat amat besar bagi pendidik, karena musuhnya sendiri yang harus berteman dengan kesehariannya.
Salam hangat dari pengajar yang merindu ruang kelas.